1. Cara Sederhana
Cara sederhana adalah cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh para pengrajin tempe di Indonesia. Kedelai setelah dilakukan sortasi (untuk memilih kedelai yang baik dan bersih) dicuci sampai bersih, kemudian direbus yang waktu perebusannya berbeda-beda tergantung dari banyaknya kedelai dan biasanya berkisar antara 60-90 menit.
Kedelai yang telah direbus tadi kemudian direndam semalam. Setelah perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci sampai bersih. Untuk tahap selanjutnya kedelai dapat direbus atau dikukus lagi selama 45-60 menit, tetapi pada umumnya perebusan yang kedua ini jarang dilakukan oleh para pengrajin tempe. Kedelai setelah didinginkan dan ditiriskan diberi laru tempe, dicampur rata kemudian dibungkus dan dilakukan pemeraman selama 36-48 jam (Gambar 20)
2. Cara Baru
Pada prinsipnya cara pembuatan tempe dengan cara baru sama dengan cara yang lama atau tradisional dan perbedaannya adalah terletak pada tahap pengupasan kulit kedelai. Dimana pada cara lama (tradisional) kedelai direbus dan direndam bersama kulitnya atau masih utuh sedangkan pada cara yang baru sebelumnya kedelai telah dikupas kulitnya (kupas kering) dengan menggunakan alat pengupasan kedelai. Tahap-tahap selanjutnya sama dengan cara tradisional.
Tempe yang dibuat dengan cara baru warnanya (warna kedelai) lebih pucat bila dibandingkan dengan cara lama.ahal ini disebabkan –karena pada cara baru kedelai direbus dan direndam dalam keadaan sudah terkupas kulitnya sehingga ada zat-zat yang larut.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe adalah sebagai berikut:
1. Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm.
2. Uap air
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya.
3. Suhu
Kapang tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh karena itu, maka pada waktu pemeraman, suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.
4. Keaktifan Laru
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang keaktifannya. Karena itu pada pembuatan tape sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak mengalami kegagalan.
Untuk membeuat tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan dikenal dengan nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian.
Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan atas: inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam laru tersebut.
Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempe adalah kapang jenis Rhizopus oligosporus, atau kapang dari jenis R. oryzae. Sedangkan pada laru murni campuran selain kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni Klebsiella.
Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam proses fermentasi tempe diantaranya adalah: Bacillus sp., Lactobacillus sp., Pediococcus sp., Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan, sehingga hal ini tidak diinginkan.
Pada tempe yang berbeda aslnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda pula (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Jenis kapang yang terdapat pada tempe Malang adalah R. oryzae., R. oligosporus., R. arrhizus dan Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta adalah R. oryzaei dan R. stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta dapat dijumpai adanya kapang Mucor javanicus., Trichosporon pullulans., A. niger dan Fusarium sp.
Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase hanya disintesa oleh R. arrhizus dan R. stolonifer. Sedangkan enzim amilase disintesa oleh R. oligosporus dan R. oryzae tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus.
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan baik fisik maupun kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan menjadi asan-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Dengan adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan ternyata bau langu dari kedelai juga akan hilang.
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64% (Sudarmaji dan Markakis, 1977).
Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi tempe adalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam.
Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan dan peningkatannya akan mencapai jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam (Murata et al., 1967). Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin (Shurtleff dan Aoyagi).
Materi Teknologi Fermentasi dalam Pelatihan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Oleh : Debby Sumanti, Ir., MS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar