Sudah semenjak awal kuliah saya mempunyai impian yang tinggi untuk hidup dan bekerja di Jepang. Keinginan ini sangat dipengaruhi oleh banyaknya drama Jepang yang saya tonton. Digambarkan kehidupan disana begitu damai penuh keteraturan, masyarakat yang ramah dan lingkungan yang bersih dan kemudahan fasilitas. Terbersit keinginan untuk mengais rejeki di negeri sakura itu di kemudian hari. Untuk mewujudkan hal itu mulai belajar bahasa jepang sampai rajin ikut kelas online saya lakukan. Sampai pada suatu saat saya membaca sebuah berita tentang kehidupan dunia kerja di jepang. Sekonyong-koyong saya menjadi pesimis untuk kesana.
Tak bisa dipungkiri banyak dari kita, anak muda Indoneisa selalu dan selalu membanggakan negeri Samurai, Jepang. apakah salah? tidak juga. memang harus kita akui klo Jepang adalah negeri dengan segudang kehebatan, mulai dari teknologi, kedisiplinan, kreasi anime, sampai dunia sex! banyak juga dari kita yang mengandai-andai”seandainya saya bisa ke jepang, sekolah di jepang dan hidup di jepang..mulai sekarang bukalah mata anda dan apabila masih mau kesana kuatkan mental anda.
Setiap tahun terdapat jutaan mahasiswa yang bersorak gembira ketika mereka dinyatakan lulus dari universitas. Mereka senang karena jerih payah orang tua tidak sia-sia setelah mereka di wisuda mengenakan toga. Sayang sekali… mereka tidak sadar kalau mereka baru saja keluar dari “kandang anak kucing” dan masuk ke hutan belantara yang dipenuhi oleh singa, ular berbisa, mawar beracun, dan banyak lagi yang aneh-aneh.
Menurut survey di Tokyo, orang-orang yang baru lulus kuliah cenderung mengalami tingkat stress yang lebih tinggi jika dibandingkan ketika mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus. Kenapa mereka lebih stress? Karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan! Makin hari makin banyak darah segar yang bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Dan ketika saingan semakin banyak, banyak pula yang rela di gaji rendah, kerja semakin larut, dan tingkat kesehatan yang semakin menurun.
Inilah dunia kerja Jepang yang sesungguhnya.
“Setiap hari saya hidup dengan kegelisahan yang mengerikan,” kata Ikezaki, seorang karyawan kontrak yang saat ini kerja dengan gaji ¥75.000/bulan (atau sekitar 7 juta rupiah per bulan). “Ketika saya berpikir tentang masa depan saya, saya jadi tidak bisa tidur di malam hari.”
Berdasarkan data dari pemerintah Jepang, terdapat lebih dari 10 juta orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari standard normalnya Jepang yaitu ¥1.600.000/tahun (atau sekitar 155 juta rupiah per tahun).
Mungkin ini semua adalah akibat dari perusahaan-perusahaan Jepang yang lebih mementingkan keuntungan perusahaan dan memanfaatkan keluguan para pekerja baru (yang jelas-jelas tidak punya pilihan lain).
Terciptalah salaryman. Orang-orang yang hidup dengan gaji rendah, kerja setengah mati, tanpa uang lembur, dan tanpa kepastian peningkatan karir meskipun mereka telah bekerja puluhan tahun. Makanya jangan heran ketika kamu melihat banyak karyawan Jepang yang tertidur pulas di kereta ketika mereka menuju pulang ke rumah. Mereka terlalu lelah.
Karoshi artinya “mati di kerja” atau kematian karena stress pekerjaan. Halusnya berarti “meninggal karena setia dan mengabdi kepada perusahaan”. Kematiannya bisa karena kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah (kesehatannya menurun jauh), ataupun karena bunuh diri karena stress kerja.
Saking seriusnya masalah ini, pemerintah Jepang telah mencoba berbagai cara untuk mengatasinya. Mulai dari menyediakan nomor telepon darurat untuk menerima keluh-kesah para salaryman, buku petunjuk untuk mengurangi stress, sampai mensahkan undang-undang yang memberikan sejumlah uang (asuransi) ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena karoshi.
Menurut data pemerintah, dari 2.207 kasus bunuh diri pada tahun 2007, 672-nya adalah karena pekerjaannya terlalu banyak. Kasus karoshi yang terkenal adalah kasus kematian Kenichi Uchino pada tahun 2002, seorang manager quality-control berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan otomotif terbesar di dunia, Toyota.
Kenichi dikabarkan bekerja lembur selama 80 jam setiap bulan selama 6 bulan lamanya tanpa dikasih uang lembur atau bonus tambahan apapun. Dia akhirnya jatuh pingsan di tempat kerjanya dan dilarikan ke rumah sakit, yang kemudian membawanya ke akhirat.
McDonald’s Jepang pun terkena masalah ini. Salah seorang manager restorannya jatuh sakit dan meninggal karena bekerja lembur tanpa bayaran apapun.
Mau gak mau, karena tekanan publik, Toyota dan McDonald’s akhirnya memutuskan akan memberikan uang lembur bagi yang ingin bekerja lembur dan menyediakan fasilitas kesehatan yang lebih baik.
Para salaryman ini sebenarnya niatnya baik, yaitu ingin memajukan perusahaannya. Ditambah lagi dengan kebudayaan Jepang yang selalu menekankan disiplin tinggi, mereka berpikiran bahwa dengan bekerja lebih lama dan lebih keras daripada karyawan lain dan tanpa meminta bayaran apapun, boss mereka bisa memberikan posisi yang lebih baik. Tapi kenyataan, TIDAK!!.
Bagaimana sih kehidupan seorang salaryman sehari-hari?
06:30 = bangun dari tempat tidur
07:30 = berangkat ke kantor (jalan kaki / naik sepeda / subway)
08:50 = harus tiba di kantor
09:00 = meeting pagi dengan supervisor
09:10 = mulai kerja
12:00 = makan siang (bento / kantin / restoran terdekat)
13:00 = mulai kerja lagi
17:00 = lembur dimulai (biasanya tanpa uang lembur)
20:30 = pesta nomikai (kalau ada)
21:30 = pulang ke rumah (jalan kaki / naik sepeda / subway)
22:30 = sampe rumah, nonton TV, baca koran
23:00 = tidur
Ulangi terus dari Senin-Jumat. Sabtu biasanya pulang lebih awal (kalau ada lembur, kerja seperti biasa). Minggu libur (kalau ada lembur, kerja seperti biasa).
Peraturan di kantor:
#1. Kalau atasan bilang bumi berbentuk kotak, maka bumi bentuknya kotak.
#2. Kalau dia berubah pikiran, maka bumi juga bentuknya berubah.
#3. Lupakan apa kata pelanggan. Boss adalah raja.
#4. Karyawan baru? Boss adalah Tuhan.
#5. Membungkuk. Membungkuk. Membungkuk