Bagaimana rasanya dijajah bangsa sendiri? Tidak bisa tidak, kebencian tidak bisa diungkapkan langsung. Wong temen sendiri, sewarna kulit, sebahasa, bahkan se”agama”. Tapi Visi, misi dan tujuan hidup berbeda. Karena tidak satu visi, misi, dan tujuan itulah kami merasa terjajah. Mereka dan antek-anteknya sedang berkuasa. Mendingan dijajah bangsa Londo, beda kulit, beda bahasa, beda agama. Jadi melawanpun ada setidaknya ada alasan mencolok mata, tidak seperti sekarang- berseteru dengan teman sendiri.
Temen saya bilang, kalau dijajah bangsa sendiri malah enak. Soalnya itu berarati memberi kesempatan kepada bangsa sendiri untuk hidup lebih kaya, lebih senang, lebih berkuasa. Daripada kekuasaan dan kekayaan itu dikasih ke bangsa yang beda warna kulit. Jadi lebih baik dijajah bangsa sendiri dibandingkan dijajah bangsa lain ya toch.! Itulah paham nasionalisme, menyamakan orang dari warna kulit, bukan dari ideologi.
Ngomong-ngomong soal jajah menjajah tidak ada hubungannya dengan jajal menjajal. Meskipun tinggal ganti hutuf dari h (jajah) menjadi l (jajal) maknanya berbeda jauh. Menjajal itu mencoba kekuatan orang lain, siapa tahu dia lebih lemah ketimbang diri sendiri. Kalau ternyata yang dijajal itu lebih sekti (sudah terlihat cara mengangkis jurus pertama) maka lebih baik kita mengalah sajalah.
Pada awalnya yang datang bangsa Portugis, menjajal dulu di Banten. Eh,.. ternyata orang Banten lebih sakti,.. Para portugis itu terbirit-birit, larilah ke Maluku. Orang Maluku dijajal lagi, berhasil ditipu daya akhirnya dari menjajal jadi menjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar