Menulis Bukan Keinginan, tapi Kebutuhan
Oleh: Luqman Abdul Chalik*)
Bagi saya, tema “Saya Ingin Menjadi Penulis Sukses“ yang diajukan Jonru kurang tepat. Kenapa? Saya menggaris bawahi kata “ingin”. “Ingin” terkesan kebutuhan tersier. Setelah butuh, baru ingin. Padahal bagi saya, menulis adalah kebutuhan primer seperti halnya makan minum atau pipis. Orang lapar butuh makan buat tenaga. Sari-sari makanan jadi tenaga ampasnya dibuang lewat buang air, besar maupun kecil. Orang sakit pencernaan atau gangguan kandung kemih karena pintu pelepasannya bermasalah. Nah, bagi saya menulis adalah “makanan” sekaligus “lubang pelepasan” racun tak berguna dari tubuh saya. Menulis itu ibarat kanvas bagi pelukis. Menulis itu ibarat sawah bagi petani. Semua profesi dan pekerjaan adalah ekspresi rasa dan tanggung jawab. Tanggung jawab memberi nafkah anak istri misalnya. Saya menulis sebagai kebutuhan menumpahkan rasa dan tanggung jawab terhadap potensi panca indra yang diberikan Tuhan. Saya harus bersyukur.
Menulis adalah Kebutuhan
Menulis itu bukan keinginan tapi kebutuhan. Kebutuhan untuk mengeskpresikan diri, kebutuhan untuk membuang kekesalan. Menulis itu persembahan yang agung sekaligus membuang sesuatu yang tak berguna. Saya lapar, saya butuh menulis. Saya haus, saya butuh menulis. Dengan menulis lapar dan haus saya terobati.
Saya kadang sedih kadang gembira. Saya tidak ingin gembira dan sedih dipendam sendiri. Harus ada pelepasan. Pelepasan yang positif adalah menulis. Itu bentuk curhat saya yang paling saya nikmati. Menulis juga adalah “tong sampah” yang berguna sekali. Bayangkan di dunia ini tanpa tong sampah. Bayangkan taman tanpa tong sampah, restoran tanpa tong sampah. Segera dunia menjadi kotor dan berpenyakit. Tong sampah itu harus ada. Tidak usah terlihat menonjol, tapi ketika orang mencari sudah tersedia. Saya belum mendengar ada kolektor tong sampah. tapi saya sering melihat orang mencari tong sampah. Tong sampah tak usah banyak, tapi harus ada karena dibutuhkan. Unek-unak saya tumpahkan lewat tulisan. Yang menampungnya adalah diari, blog saya, dan beberapa media cetak. Lega rasanya kalau sudah menulis opini lalu dikirimkan. Dimuat atau tidak itu urusan lain. Yang penting hati saya menjadi plong.
Kalau menulis sebuah kebutuhan, lantas mengapa tidak semua orang butuh menulis? Yang bertanya seperti itu sama saja dengan bertanya mengapa tidak semua orang butuh roti? Bukankah roti adalah makanan pokok? Makanan pokok jasmani adalah roti atau nasi. Namun, makanan pokok bukan hanya roti. Nasi, sagu, jagung juga makanan pokok bagi fisik. Makanan pokok rohani apa? Sama seperti makanan jasad, tergantung kebiasaan, pengalaman, dan lingkungan. Bernyanyi, baca puisi, mendengarkan santapan rohani, shalat, meditasi, itulah santapan rohani. Menulis santapan pokok bagi jiwa saya.Bagi saya, menulis ibarat nasi. Sayur dan lauk pauknya boleh gonta ganti, nasinya tetap. Suasana hati boleh gonta ganti, tapi penawarnya sama, MENULIS.
Kapan Menjadi Penulis
Kapan seseorang disebut sebagai penulis? Menulis dimulai sejak dia mulai berniat. Dalam keyakinan agama Islam, seseorang yang berniat beramal baik sudah dinilai satu point. Bila diwujudkan mendapat dua point. Tidak perlu wisuda, pentasbihan, atau upacara khusus untuk disebut sebagai seorang penulis. Sejak Anda meniatkan diri untuk menjadi penulis, Anda sudah menjadi penulis, anda mendapat satu point. Masalahnya adalah seberapa jauh anda berkomitmen dan konsisten dengan niat anda. Inginkah Anda mendapat dua point?. Wujudkan niat itu, mulailah menulis. Menulis apa saja, tak usah takut salah.
Seberapa besar Anda mewujudkan niat Anda? Saya penulis karena saya sudah meniatkan diri menjadi penulis. Meskipun Anda sudah lama bisa membaca dan menulis, kalau Anda tidak meniatkan diri untuk konsisten, Anda belum jadi penulis. Berniat dan konsisten, itulah kuncinya. Menjadi penulis tidak perlu harus dimuat di media cetak. Cukup buku harian, blog gratisan. Kalau ada yang gratis mengapa mesti bayar.
Anda ingin mendapatkan dua point, tapi sebenarnya Anda mendapatkan tidak dua point tapi ribuan bahkan bisa jutaan point. Ilustrasinya begini. Misalkan tulisan saya via blog dibaca seribu orang. Kalaut tulisan saya bagus, menginspirasi seribu orang, saya mendapatkan 1000 x 2 sama dengan saya mendapat dua ribu point. Saya tidak mendapat honor dari tulisan saya. Bagi saya, honor adalah bonus dari usaha dan niat kita. Yang namanya bonus bisa ada bisa tidak, tapi gaji pokok sudah teraih, 2000 point tadi. Misalkan, tulisan saya dimuat, saya diberi honor seratus ribu. Pendapatan saya bukan seratus ribu, tapi seratus ribu dikali 2000. Saya mendapat point 20 juta. Point itu akan saya tukarkan nanti di akhirat. Dunia kudapat (bonus karena dibayar), di akhirat dibayar berlipat ganda (pahala menginspirasi orang lain).
Perjalanan seribu mil harus dimulai dari satu langkah. Saya memulai menulis seperti bayi yang mau merangkak. Sekarang saya merasa menjadi remaja. Seorang ABG yang penuh antusias, siap menuju perjalanan jauh, kemanapun. Kalau tujuan saya adalah penulis hebat sekelas peraih Nobel sastra, maka saya siap menulis sebanyak kata yang saya mau dan sejuta tema yang saya suka. Saya mau menjadi penulis seumur hidup.
Bekal Internal & Eksternal
Sumber bekal saya yang utama saya hanya dua, internal dan eksternal. Bekal internal adalah tekad yang kuat karena menulis bagi saya adalah kebutuhan pokok. Menulis bagi saya sudah menjadi kebutuhan primer bukan kebutuhan sekunder apalagi tersier. Bekal eksternal yang siap mendukung saya adalah bekal material maupun non-material. Bekal meterial adalah fasilitas yang sudah saya miliki berupa seperangkat alat tulis dan cetak. Sebuah laptop, sebuah printer, dan koneksi internet. Itu saja sudah lebih dari cukup. Bekal non-material lebih penting. Bentuknya bisa ikut seminar penulisan, bergiat di komunitas, isi blog gratisan, dan media cetak yang jumlahnya ratusan yang akan memuat tulisan saya.
Saya ingin menjadi penulis yang konsisten. Masalah konsistensi gaya bahasa dan tema itu hal selanjutnya. Penulis konsisten tidak ditentukan oleh seberapa banyak karya kita yang sudah dipublikasikan, tapi oleh seberapa tangguh kita dalam berjuang untuk mewujudkan impian sebagai penulis sukses. Alhamdulillah, sekarang ada buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT yang bisa memandu saya untuk menjadi penulis konsisten sekaligus penulis sukses. Ini adalah sumber modal eksternal yang berharga. Buku ini bukan tex book kaku. Dengan gaya Jonru yang santai, sederhana dan mudah dicerna, cocok untuk penulis pemula seperti saya. Saya harus baca buku ini!
Saat ini buku "Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat" yang tersedia adalah berformat ebook. Versi cetak belum tersedia. Jadi buku ini belum bisa didapatkan di toko buku terdekat. Untuk versi ebook, terdapat sejumlah PENAWARAN FANTASTIS yang tidak berlaku untuk versi cetak. Misalnya, harga ebooknya hanya Rp 49.500, tapi setiap pembeli mendapat voucher diskon Rp 200.000 dari SMO. Ini relatif murah. Apalagi, ini adalah DISKON SMO TERBESAR yang pernah diberikan. Selama ini belum pernah ada, dan tidak tersedia di tempat lain.
Sekarang zaman paperless. Zaman orang mengurangi penebangan hutan sebagai bahan mentah kertas. Peduli lingkungan. Stop penebangan hutan, kurangi pengguanaan kertas. Caranya, gunakan koneksi internet, lebih cepat, lebih modern, lebih berwawasan lingkungan. Untuk melihat website buku Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat, coba klik http://www.penulishebat.com. Selain itu, teman-teman juga bisa gabung di Fan Page-nya di http://www.facebook.com/penulishebat. Oh ya, ada Twitternya juga lho. Klik di sini. Oh. Ya tulisan saya ini dapat dilihat juga di http://www.lukevery.multiply.com atau http://lukevery.wordpress.com/.
Selamat menjadi penulis konsisten sekaligus sukses!
*) Luqman Abdul Chalik,
Buruh sebuah pabrik tas di Bandung
1 komentar:
menulis itu kebutuhan, iya juga sih, tp g general jg.
btw, mau komen tp rd syusyah nih.... halah!
Posting Komentar