Ustadz ganteng ini laris diminta berdakwah. Perjalanan hidup
Jeffry Al Buchori sungguh dahsyat. Penuh gejolak dan tikungan tajam.
Proses pergulatan yang luar biasa ia alami sampai ia menemukan kehidupan
yang tenang dan menenteramkan. Simak kisahnya yang sangat memikat mulai
nomor ini.
Sebetulnya aku tidak ingin bercerita banyak tentang
masa laluku. Maklum, masa laluku sangat kelam. Namun, setelah kupikir,
siapa tahu perjalanan hidupku ini bisa menjadi pelajaran bagi orang
lain. Baiklah, aku bersedia membagi pengalaman hidupku pada para
pembaca. Insya Allah, ada gunanya.
Aku lahir dengan nama Jeffry Al Buchori Modal pada 12
April 1973 di Jakarta. Waktu aku lahir, keluargaku memang sudah menetap
di Jakarta. Aku lahir sebagai anak tengah, maksudku anak ke-3 dari lima
bersaudara. Tiga saudara kandungku laki-laki, dan si bungsu adalah
perempuan. Layaknya bersaudara, hubungan kami berlima cukup dekat.
Sekadar bertengkar, sih, wajar saja. Apalagi, jarak usia kami tidak
berjauhan.
Apih (panggilan Jefri untuk ayahnya, Red.), M. Ismail
Modal, adalah pria bertubuh tinggi besar asli Ambon, sedangkan Umi,
begitu aku biasa memanggil ibu, Tatu Mulyana asli Banten. Apih mendidik
kami berlima dengan sangat keras. Tapi, kalau tidak begitu, aku tidak
akan merasakan manfaat seperti sekarang. Kalau kami sampai lupa salat
atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih.
Dalam hal agama, Apih dan Umi memang mendidik kami secara ketat.
Namun, sebetulnya Umi adalah seorang ibu yang amat
sabar dan lembut dalam menghadapi anak-anaknya. Apih pun orang yang
selalu bersikap obyektif. Dia akan membela keluarganya mati-matian bila
memang keluarganya yang benar. Sebaliknya dia tidak segan-segan
menyalahkan kami bila memang berbuat salah.
Berada di lingkungan keluarga yang taat agama membuatku
menyukai pelajaran agama. Sewaktu kelas 5 SD, aku pernah ikut kejuaraan
MTQ sampai tingkat provinsi. Selain agama, pelajaran yang juga kusukai
adalah kesenian. Entah mengapa, aku suka sekali tampil di depan orang
banyak. Oh ya, setelah kenaikan kelas, dari kelas 3 aku langsung
melompat ke kelas 5. Jadilah aku sekelas dengan kakakku yang kedua.
BERKEPRIBADIAN GANDA
Lulus SD, Apih
memasukkanku dan kedua kakakku ke sebuah pesantren modern di Balaraja,
Tangerang. Beliau ingin kami mendalami pelajaran agama. Rupanya tidak
semua keinginannya bersambut, semua ini karena kenakalanku.
Orang bilang, anak tengah biasanya agak nakal. Aku tidak
tahu ungkapan itu benar atau tidak. Yang jelas hal itu berlaku padaku.
Sebagai anak tengah, aku sering membuat orang tua kesal. Di pesantren,
aku sering berulah.
Salah satu kenalakanku, di saat yang lain salat, aku
diam-diam tidur. Kenakalan lain, kabur dari pesantren untuk main atau
nonton di bioskop adalah hal biasa. Sebagai hukumannya, kepalaku sering
dibotaki. Tapi, tetap saja aku tak jera.
Tampaknya aku seperti punya kepribadian ganda, ya. Di
satu sisi aku nakal, di sisi lain keinginan untuk melantunkan ayat-ayat
suci begitu kuat. Tiap ada kegiatan keagamaan, aku selalu terlibat.
Bersama kedua kakakku, aku juga pernah membuat drama tanpa naskah
berjudul Kembali Ke Jalan Allah yang diperlombakan di pesantren.
Ternyata karya kami itu dinilai sebagai drama terbaik se-pesantren.
Bahkan, aku juga juara lomba azan, lomba MTQ, dan
qasidah. Akan tetapi, entah kenapa, aku juga tak pernah ketinggalan
dalam kenakalan. Tinggal dalam lingkungan pesantren, kelakuan burukku
bukannya berkurang, malah makin menjadi. Puncaknya, aku sudah bosan
bersekolah di pesantren.
Akhirnya, hanya empat tahun aku di pesantren. Dua tahun
sebelum menamatkan pelajaran, aku keluar. Lalu, Apih memasukkanku ke
sekolah aliyah (setingkat SMA, Red.). Rupanya keluar dari pesantren
tidak membuatku lebih baik. Aku yang mulai beranjak remaja justru jadi
makin nakal.
KENAL DUNIA MALAM
Memang, sih, tiap
ada acara keagamaan aku tak pernah ketinggalan. Namun, aku juga selalu
mau bila ada teman mengajak ke kantin sekolah. Bukan untuk jajan, tapi
memakai narkoba! Aku juga sering kabur dan pergi tanpa tujuan yang
jelas. Ya, aku seperti burung lepas dari sangkar, terbang tak
terkendali.
Masa SMA memang suram bagiku. Masa yang tak pernah
lengkap. Maksudnya, aku tak punya teman sebaya. Kenapa? Ya, meski usiaku
masih 15 tahun, aku bergaul dengan pemuda berusia 20 tahunan. Pacaran
pun dengan yang lebih tua. Di sekolah ini aku hanya bertahan setahun.
Pindah ke SMA lain, keseharianku tak jauh berbeda. Malah makin parah.
Dari perkenalan dengan beberapa teman, aku mengenal
petualangan baru. Umur 16 tahun, aku mulai kenal dunia malam. Aku masuk
sekolah hanya saat ujian. Buatku, yang penting lulus. Aku lebih suka
mendatangi diskotek untuk menari. Terus terang, aku memang tertarik pada
tarian di diskotek. Tiap ke sana, diam-diam aku selalu mempelajari
gerakan orang-orang yang nge-dance. Lalu kutirukan.
Aku jadi seorang penari, bertualang dari satu diskotek
ke diskotek lain, tenggelam dalam dunia malam. Saat ada lomba dance, aku
mencoba ikut. Usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku berhasil memboyong
piala ke rumah sebagai the best dancer. Selain itu, aku juga berhasil
jadi penari di Dufan pada tahun 1990, meski hanya selama setahun. Sampai
sekarang masih banyak temanku yang jadi penari di sana.
Aku juga pernah jadi foto model, bahkan ikut fashion
show di diskotek. Mungkin waktu itu aku merasa sangat cakep, ya. Tapi
menurutku, kegiatan-kegiatan itu masih positif, meski terkadang aku suka
minum. Dengan segala kebengalanku, tahun 1990 aku berhasil lulus SMA.
MAIN SINETRON
Aku mengalami masa
yang menurutku paling dahsyat setelah tamat SMA. Ceritanya salah seorang
teman penari, memperkenalkanku pada Aditya Gumai yang saat itu aktif di
dunia seni peran. Dari Aditya aku mengenal dunia akting. Waktu itu,
kami masih latihan menari di Taman Ismail Marzuki. Saat latihan pindah
ke Gedung Pemuda di Senayan, mulailah aku main sinetron. Mulanya aku
hanya mengamati para pemain yang sedang syuting, sambil diam-diam
belajar.
Aku memang suka mencuri ilmu. Waktu tidur di kos salah
satu temanku di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta, aku sering
mencuri ilmu juga dari para mahasiswa. Kalau mereka sedang kuliah atau
praktik, aku sering mengamati mereka.
Nah, ketika para pemain sinetron sedang latihan,
terkadang aku menggantikan salah satunya. Ternyata aku ditertawakan.
Karena pada dasarnya aku orang yang enggak suka diperlakukan seperti
itu, aku malah jadi terpacu. Aku makin giat berlatih akting secara
otodidak. Akhirnya, saat yang senior belum juga dapat giliran main, aku
sudah mendapat peran. Aku diajak Aditya main sinetron. Waktu dikasting,
aku berhasil mendapat peran.
Tahun 1990, aku main sinetron Pendekar Halilintar. Saat
itu, sinetron masih dipandang sebelah mata oleh bintang film. Namun,
Apih mati-matian menentangku. Kenapa? Rupanya Apih tahu persis seperti
apa lingkungan dunia film. Dulu, beliau juga pernah main film action,
antara lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai. Dari beliaulah aku
menuruni darah seni.
Ditentang Apih tak membuat langkahku surut. Mungkin
jalan hidupku memang harus begini. Tak satu pun larangan Apih yang
mampir ke otakku untuk kujadikan bahan pikiran. Nasihat Apih tak lagi
kudengarkan. Tawaran untuk main sinetron yang berdatangan membuatku
makin yakin, inilah yang kucari. Aku tak mau menuruti keinginan orang
tua karena merasa diriku benar. Akhirnya konflik antara aku dan orang
tuaku pecah.
Sebagai bentuk perlawananku pada orang tua, aku tak
pernah pulang ke rumah. Tidur berpindah-pindah di rumah teman. Rambut
juga kupanjangkan. Aku seperti tak punya orang tua. Bahkan, tak pernah
terlintas dalam benakku bahwa suatu hari mereka akan pulang ke haribaan.
Yang kupikirkan hanya kesenangan dan egoku semata.
Pada saat bersamaan, karierku di dunia seni peran terus
melaju. Aku semakin mendapatkan keasyikan. Setelah itu, aku mendapat
peran dalam sinetron drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien Novita,
Ratu Tria, dan almarhum WD Mochtar.
Aku semakin merasa pilihanku tak salah setelah
dinobatkan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja
yang diadakan TVRI tahun 1991. Aku bangga bukan main, karena merasa
menang dari orang tua. Kesombonganku makin menjadi. Aku makin merasa
inilah yang terbaik buatku, ketimbang pilihan orangtuaku.
***
“DI KABAH, KUMINTA AMPUNAN ALLAH”
Tawaran main sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam dalam dunianya yang kelam.
Sejak kenal sinetron, aku makin menyukai dunia akting.
Aku tak peduli meski Apih menentangku. Namun, belakangan aku paham, di
balik etidaksetujuannya, sebetulnya orang menyimpan rasa bangga. Orang
tua cerita, mereka sedang ke Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji
saat sinetron Sayap Patah yang kumainkan ditayangkan.
Ternyata, mereka nonton sinetronku. Komentar mereka
membanggakanku. Mereka mengakui, ternyata aku bisa berprestasi. Setelah
itu, aku mendapat berbagai tawaran main, antara lain sinetron Sebening
Kasih, Opera Tiga Jaman, dan Kerinduan. Selain namaku makin mencuat,
rezeki juga terus mengalir.
Namun, aku malah jadi lupa diri. Ketenaran tidak
penting buatku. Yang penting menikmati hidup. Dunia malam terus
kugeluti. Kalau ke diskotek, aku tak lupa mengonsumsi narkoba. Bahkan,
untuk urusan yang satu ini, aku bisa dibilang tamak. Biasanya, aku
meminum satu pil dulu. Kalau kurasa belum “on”, kuminum satu lagi.
Begitu seterusnya.
Akhirnya, aku jadi sangat mabuk. Pandanganku pun jadi
kabur. Mau melihat arloji di tangan saja, aku harus mendekatkannya ke
wajahku, sambil menggoyang-goyangkan kepala dan membelalakkan mata
supaya bisa melihat dengan lebih jelas. Parah, ya? Begitulah
kebandelanku terus berlangsung.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di
tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Aku menyesal bukan main karena
selama ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang kepergiannya, aku
berdiri di samping tempat tidurnya di rumah sakit sambil menangis.
Melihatku seperti itu, Apih mengatakan, laki-laki tak boleh menangis.
Laki-laki pantang keluar air mata. Bayangkan, bahkan di saat-saat
terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan sikapnya yang penuh kasih padaku
yang durhaka ini.
Sore itu aku dimintanya pulang ke rumah dan beliau
memberiku ongkos. Aku menurut. Begitu aku pulang, Allah mengambilnya.
Aku syok berat. Saat Apih dimakamkan, aku turun ke liang lahat dan
memeluk jasadnya. Aku tak mau beranjak meski makam akan ditutup. Aku tak
mau melepas kepergiannya. Aku menyesali perbuatanku. Selama Apih masih
hidup, aku tak pernah mau mendengarkan ucapannya.
Sejak itu, Umi membesarkan kami berlima. Hidupku terus
berjalan. Bukan ke arah yang baik, namun aku kembali ke masa seperti
dulu. Penyesalan yang sebelumnya begitu menghantuiku karena ditinggal
Apih, seolah lenyap. Kebandelanku bahkan makin menjadi sepeninggal Apih.
Kesombonganku juga lebih besar dari sebelumnya karena merasa
berprestasi dan punya uang banyak. Tak seorang pun kudengarkan lagi
nasihatnya.
Ketika temanku menasihati, aku mencibir. Siapa dia
sampai aku harus mendengarkan ucapannya? Ucapan orang tua saja tak
kugubris. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri dan jadi pecandu narkoba.
Waktu itu, aku beralasan karena ada masalah di rumah. Padahal,
sebetulnya alasan apa pun, termasuk broken home atau teman, tidak bisa
dijadikan alasan. Diri sendirilah alasannya, karena bagaimana pun, kita
lah yang menentukan semua yang terjadi pada diri kita.
Jadi, tidak perlu membawa-bawa orang lain atau keadaan.
Namun, kesadaran seperti ini mana mungkin muncul pada diriku yang waktu
itu sangat arogan? Aku makin jauh dari Tuhan. Padahal, sebelah rumahku
ada masjid. Ketika orang berpuasa di bulan Ramadan pun, aku tetap
melakukan kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan orang-orang sibuk
bertakbir, aku malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di mana aku
bisa berbuat maksiat.
Semua ilmu agama yang pernah kupelajari dan kemampuan
membaca Quran seperti hilang. Akal sehatku seperti hilang. Kecanduanku
pada narkoba juga makin parah, bahkan sampai mengalami over dosis dan
aku hampir mati. Kejahatan demi kejahatan moral terus kulakukan.
NAMA DICORET
Tak perlu aku
menceritakan detail tentang kejahatan yang kulakukan. Yang jelas, suatu
hari aku merasa menderita karena ketakutan setelah melakukan sebuah
perbuatan. Aku benar-benar ketakutan! Aku jadi gampang curiga pada siapa
saja. Aku selalu berburuk sangka pada apa pun. Kesombonganku pada uang
dan prestasi lenyap digantikan ketakutan. Yang kulakukan setiap hari
adalah berdiam diri di kamar, dengan selalu berpikiran bahwa setiap
orang yang datang akan membunuhku. Aku sibuk mengintip dari bawah pintu,
siapa tahu ada orang datang untuk membunuhku.
Telingaku jadi sangat sensitif. Aku sering merasa
mendengar ada orang sedang berjalan di atap rumah ingin membunuhku. Aku
tersiksa selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Orang-orang mengatakan, aku sudah gila.
Pada saat bersamaan, kecanduanku pada narkoba membuatku
termasuk dalam daftar hitam dunia sinetron. Namaku dicoret. Tak ada
lagi yang mau memakaiku sebagai pemain. Selain itu, cewek-cewek yang ada
di dekatku juga menjauh. Dulu aku termasuk playboy.
Di saat aku sendiri, ada Umi yang selama ini sudah
sangat sering kusakiti hatinya. Umi tetap menyayangiku dengan cintanya
yang besar. Seburuk apa pun orang berkomentar tentang aku, hati Umi
tetap baik dan sabar. Air matanya tak pernah kering untuk mendoakan
anak-anaknya, terutama aku agar berubah jadi lebih baik.
Doa tulus Umi dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa,
Allah menunjukkan kebaikan-Nya padaku. Allah memberiku kesempatan untuk
bertobat. Kesadaran ini muncul lewat suatu proses yang begitu
mencekamku.
DIAJAK UMI UMRAH
Sungguh, aku
merasa sangat ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat jasadku
sendiri dalam kain kafan. Antara sadar dan tidak, aku terpana sambil
bertanya pada diri sendiri. Benarkah itu jasadku? Aku juga disiksa
habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu bermimpi kejadian yang
menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya penderitaan. Aku jadi
takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi.
Aku juga jadi takut mati. Padahal dulu aku sempat
menantang maut. Meminta mati datang karena aku tak sanggup lagi bertahan
saat ada masalah dengan seorang cewek. Sebetulnya sepele, kan? Tapi
masalah itu kuberat-beratkan sendiri. Rasa takut mati itulah yang
akhirnya membuatku sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam
keadaan seperti ini, yaitu Allah.
Aku teringat kembali pada-Nya dan menyesali semua
perbuatanku selama ini. Pelan-pelan, keadaanku membaik.
Kesadaran-kesadaran itu datang kembali. Aku menemui Umi, bersimpuh
meminta maaf atas semua dosa yang kulakukan. Umi memang luar biasa.
Betapa pun sudah kukecewakan demikian rupa, beliau tetap menyayangi dan
memaafkanku. Umi lalu mengajakku berumrah.
Dengan kondisiku yang masih labil dan rapuh, kami
berangkat ke Tanah Suci. Kali ini aku berniat sembuh dan kembali ke
jalan Allah. Di sana, aku mengalami beberapa peristiwa yang membuatku
sadar pada dosa-dosaku sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi
mengajakku ke Raudhoh. Aku tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja.
Umi terus meminta ampunan pada Allah.
Aku lalu keluar, berjalan menuju makam Nabi Muhammad.
Aku bersalawat. Begitu keluar dari pintu masjid, rasanya seperti ada
yang menarikku. Aku mencoba berjalan sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Kekuatan itu rasanya sangat besar. Aku lalu bersandar pada tembok. Air
mataku yang dulu tak pernah keluar, kini mengalir deras. Aku menyesali
dosa-dosaku, dan berjanji tak akan melakukan lagi semua itu.
Bagai sebuah film yang sedang diputar, semua dosa yang
pernah kulakukan terbayang jelas di pelupuk mataku silih berganti, mulai
dari yang kecil sampai yang besar. Tiba-tiba dari mulutku keluar
kalimat permintaan ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku
merapatkan badan pada dindingnya.
Aku bersandar,
menengadahkan tangan memohon ampun karena terlalu banyak dosa yang
kulakukan. Seandainya sepulang dari Tanah Suci ini melakukan dosa lagi,
aku minta pada Allah untuk mencabut saja nyawaku. Namun, seandainya
punya manfaat untuk orang lain, aku minta disembuhkan. Aku yang dulu
angkuh, sekarang tak berdaya. Setelah pulang beribadah, aku membaik. Aku
mencoba bertahan dalam kondisi bertobat itu, tapi ternyata sulit luar
biasa.
*****
BIDADARI CANTIK JADI PEMBANGKIT HIDUP
Setelah
berkali-kali jatuh-bangun, akhirnya Jeffry kembali dekat pada agama.
Kasih sayang kekasih yang akhirnya menjadi istri ikut menjadi pembangkit
semangatnya. Perjuangannya menjadi ustaz cukup berat sampai akhirnya ia
sukses jadi penceramah. Sepulang umrah, aku mencoba hidup lurus. Namun,
lagi-lagi aku tergoda. Suatu malam, aku dan teman-teman berencana
nonton jazz di Ancol. Aku memperingatkan mereka untuk tidak bawa
narkoba, karena
kami sudah sepakat untuk berhenti
memakai. Ternyata, salah satu temanku masih saja membawa cimeng.
Apesnya, kami dirazia polisi di depan Hailai.
Teman-temanku yang lain kabur. Tinggallah aku, temanku
yang membawa cimeng, dan satu teman lain. Aku sulit kabur karena mobil
yang kami pakai adalah mobilku. Akhirnya kami bertiga dibawa ke kantor
polisi dan ditahan. Aku dilepas karena tak terbukti membawa. Kucoba
telepon Umi untuk menjelaskan masalah ini, tapi Umi tak mau menerima
teleponku.
Si penerima telepon malah diminta Umi untuk mengatakan,
beliau tak anak bernama Jeffry. Hatiku tercabik-cabik. Pedih rasanya
tak diakui sebagai anak oleh Umi. Kuakui, pastilah hati Umi sudah
sedemikian sakitnya. Bayangkan, aku yang sebelumnya sudah mengaku
bertobat, malah kembali memilih jalan yang salah. Meski aku sudah
bersumpah demi Tuhan tidak memakai narkoba lagi, Umi tak percaya lagi.
Itulah puncak kemarahan Umi Sungguh bersyukur, Allah masih berkenan
menolongku. Datang seorang gadis cantik dalam hidupku. Ia mau menerimaku
apa adanya. Sebelumnya, banyak gadis meninggalkanku sehingga aku merasa
sebatang kara dalam cinta. Gadis bernama Pipik Dian Irawati ini seorang
model sampul sebuah majalah remaja tahun 1995, asal Semarang.
CUEK SAAT PACARAN
(Berikut ini
adalah penuturan Pipik: Aku pertama kali melihatnya sedang makan nasi
goreng di Menteng sekitar tahun 1996 – 1997. Rambutnya gondrong. Waktu
itu, aku bersama Gugun Gondrong. Setahuku, Jeffry adalah pemain sinetron
Kerinduan, karena aku mengikuti ceritanya. Aku ingin berkenalan
dengannya, tapi Gugun melarangku.
Tak tahunya, waktu buka puasa bersama di rumah Pontjo
Sutowo, aku bertemu lagi dengannya. Rambutnya sudah dipotong pendek. Aku
nekat berkenalan. Kami mulai dekat dan saling menelepon. Aku enggak
tahu kapan kami resmi pacaran, karena enggak pernah “jadian”. Dia juga
tak pernah menyatakan cinta. Waktu pacaran, dia cuek setengah mati.
Awalnya, semangatnya boleh juga. Pertama kami pergi
bareng, dia datang ke rumah di Kebon Jeruk, di tengah hujan deras dari
rumahnya di Mangga Dua. Jeffry naik taksi dengan memakai jins dan sepatu
bot. Ia yang hanya bawa uang Rp 50 ribu, mengajakku nonton di Mal Taman
Anggrek. Di dalam bioskop, kami seperti nonton sendiri-sendiri. Dia
diam saja selama nonton.
Sejak itu, kami sering jalan bareng, karena kami memang
hobi nonton dan makan. Semakin dekat dengannya, aku makin tahu ternyata
dia pemakai narkoba kelas berat. Teman-temanku mulai bertanya, mengapa
aku mau berpacaran dengannya. Aku sendiri tak tahu persis alasannya.
Mungkin rasa sayang yang sudah terlanjur muncul dalam hati yang
membuatku mau bertahan. Hatiku terenyuh dan tak mau meninggalkan dia
sendiri.
Tentu saja keluargaku tak ada yang tahu, karena sengaja
kusembunyikan. Mungkin mereka baru tahu sekarang, setelah membaca kisah
hidupnya di berbagai media. Sementara itu, aku sibuk tur keluar kota
sebagai model, sehingga kami sering tak ketemu. Akhirnya kami putus.
Waktu akhirnya ketemu lagi, ternyata dia sudah punya pacar lagi. Karena
masih sayang, aku sering membawakannya hadiah dan memberi perhatian.
Setelah Jeffry putus dari pacarnya, kami kembali bersatu.)
JUALAN KUE
Pipik sangat berarti
buatku. Dia mengerti, peduli dan perhatian padaku. Padahal, aku sempat
hampir menikah dengan orang lain. Ternyata Allah sayang padaku. Allah
menunjukkan, wanita yang nyaris kunikahi itu bukan untukku. Pipik bagai
bidadari yang datang dengan cinta yang besar. Ia memberi keyakinan,
menikah dengannya akan membawa perubahan besar dalam hidupku.
Aku mendatangi Umi dan minta izin untuk menikah. Luar
biasa, Umi tetap menerimaku dengan segala kasih sayangnya. Sambil
menangis, Umi mengizinkanku menikah. Aku sendiri terbilang nekat. Sebab,
waktu itu aku tak punya-apa. Badan pun kurus kering, dengan mata belok,
dan penyakit paranoid yang kuderita tak kunjung sembuh. Bahkan,
pekerjaan pun aku tak punya.
Untuk menghindari maksiat, kami menikah di bawah tangan
pada tahun 1999. Teman-temanku yang sekarang sudah meninggal karena
over dosis, sempat menghadiri pernikahanku. Setelah itu, kami tinggal di
rumah Umi. Sekitar 4 – 5 bulan setelah itu, kami menikah secara resmi
di Semarang.
Namun, menikah rupanya tak cukup menghentikan
kebandelanku. Istriku pun merasakan getahnya. Aku pernah memakai narkoba
di depannya, dan menggunakan uangnya untuk membeli barang haram
tersebut.
Kesulitan lain, aku dan Pipik sama-sama menganggur.
Pernah kami mencoba berdagang kue. Malam hari kami menggoreng kacang,
esok paginya bikin kue isi kacang dan susu. Lalu kami titipkan ke toko
kue.
Tapi mungkin rezeki kami bukan di situ. Kue yang kami
buat hanya laku beberapa buah. Dalam sehari kami hanya membawa pulang Rp
200 – 300. Akhirnya kami berhenti berjualan kue. Kehidupan kami
selanjutnya kami jalani dengan penuh perjuangan sekaligus kesabaran.
MAKAN SEPIRING BERDUA
(Kesetiaan
Pipik begitu luar biasa. Simak penuturannya berikut ini. Perasaan sayang
yang sangat kuat membuatku mantap menikah dengannya. Aku tak peduli
lagi meski dia pecandu, bahkan pernah mengalami over dosis dan hampir
gila karena paranoidnya. Aku banyak mengalami hal-hal luar biasa
dengannya. Kalau tidak sabar, mungkin aku sudah tidak bersamanya lagi.
Awal menikah, kami tinggal di rumah Umi. Meski hidup
seadanya, beliaulah yang membiayai hidup kami. Aku dan Jeffry tak jarang
makan sepiring berdua, karena memang benar-benar tak ada yang bisa
dimakan. Berat rasanya jadi istri dari suami penganggur, apalagi setelah
menikah aku tidak lagi bekerja.
Tapi aku yakin, Allah tidak mungkin memberikan cobaan
pada umat-Nya melebihi kemampuannya. Aku yakin, pasti ada sesuatu yang
akan diberikan Allah padaku. Beruntung, Umi sangat sayang padaku.
Aku sendiri tak jera memberi masukan padanya untuk
mengubah hidup. Kami sama-sama saling belajar menerima kelebihan dan
kekurangan satu sama lain. Pelan-pelan, hidupnya mulai berubah menjadi
lebih baik, terutama setelah aku hamil. Mungkin dia sendiri sudah capek
dengan kehidupannya yang seperti itu.
HIDUP DI JALAN ALLAH
Pelan-pelan,
aku kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidupku pada
tahun 2000. Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduaku yang setengah tahun
silam meninggal karena kanker otak, memintaku menggantikannya memberi
khotbah Jumat di Mangga Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi
imam besar di Singapura.
Fathul memang seorang pendakwah. Selama dia di
Singapura, semua jadwal ceramahnya diberikan padaku. Pertama kali
ceramah, aku mendapat honor Rp 35 ribu. Uang dalam amplop itu kuserahkan
pada Pipik. Kukatakan padanya, ini uang halal pertama yang bisa
kuberikan padanya. Kami berpelukan sambil bertangisan.
Selanjutnya, kakakku memintaku untuk mulai menjadi
ustaz. Inilah jalan hidup yang kemudian kupilih. Betapa indah hidup di
jalan Allah. Aku mulai berceramah dan diundang ke acara seminar narkoba
di berbagai tempat. Namun, perjuanganku tak semudah membalik telapak
tangan. Tak semua orang mau mendengarkan ceramahku karena aku mantan
pemakai narkoba. Tapi aku mencoba sabar.
Alhamdulillah, makin lama ceramahku makin bisa diterima
banyak orang. Bahkan sekarang, aku banyak diundang untuk ceramah di
mana-mana, termasuk di luar kota dan stasiun teve. Aku bersyukur bisa
diterima semua kalangan. Aku pun ingin berdakwah untuk siapa saja. Aku
ingin punya majelis taklim yang jemaahnya waria. Mereka, kan, juga punya
hak untuk mendapatkan dakwah.
Kebahagiaan kami bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir
anak pertama kami, Adiba Kanza Az-Zahra. Dua tahun kemudian, anak kedua
Mohammad Abidzan Algifari juga hadir di tengah kami. Mereka, juga
istriku, adalah inspirasi dan kekuatan dakwahku. Kehidupan kami makin
lengkap rasanya.
Sampai sekarang, aku masih terus berproses berusaha
menjadi orang yang lebih baik. Semoga, kisahku ini bisa jadi bahan
pertimbangan yang baik untuk menjalani hidup. Pesanku, cintailah Tuhan
dan orangtuamu, serta pilihlah teman yang baik.
Ustad Jefry alias UJE
# TWM | Media Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar