Beliau - dalam keadaan sakit parah, paru2 tinggal sebelah - tetap memaksakan diri bergerilya melawan Belanda. Bukan materi yg beliau kejar, bukan gaji besar, bukan fasilitas. Beliau bahkan tidak digaji. Presiden dan Perdana Menteri sudah ditangkap Belanda dalam Agresi Militer (Aksi Polisionil) Belanda ke-2. Beliau menjual perhiasan istrinya untuk modal perjuangan, berpindah dari hutan ke hutan, dengan kondisi medan yg sangat berat, dibayang-bayangi pengejaran tentara Belanda lewat darat dan udara.
Pak Dirman -dalam keadaan sakit parah digerogoti TBC & paru2 tinggal satu- memimpin perang gerilya dari atas tandu.
Inilah para gerilyawan yang beliau pimpin, berjuang keluar masuk hutan naik turun gunung demi kita anak cucu mereka.
Berjuang dengan persenjataan seadanya, melawan musuh yang memiliki persenjataan modern didukung kekuatan laut dan udara.
Gerilya berdasar kepada taktik hit and run, dan ini ampuh untuk merontokkan moral Belanda.
Di tengah kondisi kesehatan beliau yg makin mengkhawatirkan itu, banyak pihak yg menyarankan agar beliau berhenti bergerilya, namun semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun juga.
Beliau terus gigih berjuang, tidak mempedulikan lagi keselamatan dirinya. Bagi beliau, lebih baik hancur dan mati daripada tetap dijajah.
Berkat perjuangan yg tak kenal menyerah itulah, Belanda kewalahan secara militer. Kekuatan gerilya Pak Dirman luar biasa. Belanda hanya mampu menguasai perkotaan, sedangkan di luar itu, sudah masuk wilayah gerilya tentara dan pejuang kita. Di sisi lain, tekanan diplomatis terhadap Belanda juga bertubi2, karena dunia internasional melihat bahwa dengan eksistensi TNI yg ditunjukkan oleh Pak Dirman membuktikan bahwa Republik Indonesia itu ada, dan bukan sekedar kumpulan gerombolan ekstrimis seperti yg santer dipropagandakan Belanda.
Akhirnya, Belanda pun benar2 angkat tangan, dan terpaksa mengajak RI untuk berunding kembali. Perjanjian Roem Royen pun terwujud pada tanggal 7 Mei 1949, dimana Indonesia dan Belanda sepakat untuk mengakhiri permusuhan. Presiden pun telah dibebaskan oleh Belanda dan dikembalikan ke ibukota negara, waktu itu masih Yogyakarta. Namun ini masih belum final dan Pak Dirman tetap belum yakin dengan hasil perjanjian itu. Beliau tetap bersikeras melanjutkan perjuangan sampai seluruh tentara Belanda benar-benar hengkang dari tanah air.
Akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX meminta kepada Kolonel Gatot Soebroto untuk menulis surat kepada Pak Dirman agar bersedia kembali ke ibukota. Berikut adalah penggalan surat Kolonel Gatot Soebroto yang meminta Pak Dirman untuk berhenti bergerilya dan beristirahat (di-EYD-kan):
"...tidak asing lagi bagi saya, tentu saya juga mempunyai pendirian begitu. Semua-semuanya Tuhan yang menentukan, tetapi sebagai manusia diharuskan ikhtiar. Begitu pula dengan keadaan adikku, karena kesehatannya terganggu harus ikhtiar, mengaso sungguh-sungguh, jangan mengalih apa-apa. Laat alles waaien.
Ini bukan supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buah-buahnya kita tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Yang Maha Kuasa.
Ini kali saya selaku Saudara tua dari adik minta ditaati..."
Pak Dirman pun akhirnya luluh. Bagaimanapun, perjuangan adalah jalan beliau, dan kini beliau menyadari, bahwa hasil perjuangan itu sudah mendekati akhirnya.
Sebagai persiapan pulangnya Pak Dirman ke ibukota, Sri Sultan pun mengirimkan pakaian kebesaran. Namun dengan halus dan bijaksana, kiriman itu beliau tolak. Pak Dirman memilih datang sebagaimana adanya sebagaimana ketika meninggalkan ibukota untuk bergerilya, dengan segala kekurangan dan penderitaan.
Beliau datang dengan tandu, dikawal banyak sekali anak buah beliau yang mencintai beliau. Setibanya di Gedung Agung, Presiden Soekarno langsung menyambut dan merangkul beliau.
Bung Karno merangkul Pak Dirman yang akhirnya tiba kembali di ibukota negara setelah berbulan2 bergerilya keluar masuk hutan. Bung Karno sendiri tidak tahan melihat kondisi Pak Dirman yang tampak kurus dan sangat lusuh...
Perundingan pun berlanjut kepada Konferensi Meja Bundar. Puncaknya, tidak lama berselang, Belanda terpaksa mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949, dan benar-benar hengkang dari ibu pertiwi.
Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda, 27 Desember 1949, yg merupakan hasil jerih payah perjuangan Pak Dirman
Sayang sekali, seakan-akan senada dengan ucapan Pak Gatot Soebroto yg dibold di atas, Pak Dirman sepertinya memang ditakdirkan hanya untuk berjuang, bukan untuk menikmati kemerdekaan yg telah beliau perjuangkan. Beliau wafat dalam sakit beliau pada tanggal 29 Januari 1950, hanya berselang 1 bulan setelah pengakuan kedaulatan RI.
Pemakaman Pak Dirman, 29 Januari 1950, hanya 1 bulan berselang setelah Pengakuan Kedaulatan RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar