Abdul
Kadir (alm) merupakan seorang legenda sepak bola Indonesia yang namanya
mulai sering disebut akhir-akhir ini dikarenakan kondisi keluarga dan
rumah almarhum yang ternyata sangat memprihatinkan.
Profil Abdul Kadir
Karir Sepakbola Abdul Kadir
Abdul Kadir mulai mencuat namanya mulai era 1964. Berkat kelincahan yang tinggi meski bertubuh mungil, dia kemudian menjadi langganan tim nasional hingga 1979. Menurut rekan seangkatannya M Basri, Abdul Kadir telah membuktikan kepada dunia olahraga bahwa postur tubuh bukan merupakan ukuran yang pasti tentang kemampuan seorang atlet berprestasi.
Abdul Kadir menekuni sebagai pemain hingga sekitar 1984 yang kemudian menekuni karir pelatih hingga 1990.
Debutnya di Timnas PSSI adalah ketika berusia 16 tahun sudah ditarik masuk Timnas tampil di Ganefo (sekarang Asian Games) di Pyong Yang pada 1964.
Kejayaan dengan kenangan termanis dan tak dapat dilupakannya sebagai pemain adalah ketika bersama tim nasional menjuarai Piala Aga Khan pada tahun 1969 di Pakistan. Ketika itu, tim Indonesia disandera di dalam stadion oleh pendukung tuan rumah yang kecewa karena timnya kalah dengan skor telak 4-1. Abdul Kadir dan kawan-kawan baru bisa keluar stadion pada pukul 23.00 waktu setempat.
Kemudian, prestasi dengan menduduki posisi juara III juga diukir Abdul Kadir ketika melatih klub Krama Yudha Tiga Berlian di Piala Champions Asia 1986. Prestasi itu belum pernah terlampaui oleh pelatih lainnya di Indonesia.
Selama kurun hampir 15 tahun, posisinya sebagai kiri luar (gelandang) belum tergantikan oleh pemain lain. Tahun-tahun terakhir menjelang akhir hayatnya, Abdul Kadir juga pernah aktif sebagai komentator sepakbola di televisi.
Profil Abdul Kadir
Salah satu legenda sepakbola nasional. Kelahiran Denpasar (Bali), 27 Desember 1948. Pencinta sepak bola nasional mengenal Kadir, sebagai seorang pemain kiri luar yang tangguh di timnas periode tahun 1965-1978.
Ia pernah memperkuat timnas semasa dipegang pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacnik, Endang Witarsa, Djamiat Dhalhar, dan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver. Ia pernah memperkuat timnas saat menjuarai Piala Raja (1968), Merdeka Games (1969), dan Pesta Sukan Singapura (1972). Kadir juga pernah memperkuat timnas saat menjadi runners up Piala Presiden Korsel (1970-1972).
Abdul Kadir memiliki teknik sepak bola yang sangat tinggi, bahkan tidak kalah dibandingkan pemain dunia saat itu seperti Pele. Maha bintang sepak bola asal Brasil itu pernah bermain di Stadion Dtama Senayan bersama klub Santos, Juni 1972 dan sedang berada di puncak kejayaannya setelah membawa Brasil memenangi Piala Dunia 1970. Sesudah pertandingan persahabatan yang dimenangi Santos 3-2, Pele diundang ke TVRI untuk melakukan akrobat bola. Pemain nasional yang diminta mendampingi Pele adalah Abdul Kadir, yang mendapat julukan “Si Kancil” karena kelincahannya dalam mengolah si kulit bundar di lapangan hijau.
Pemain yang berposisi sebagai kiri luar itu mencapai masa keemasannya pada awal 1970-an bersama rekan-rekan seangkatan seperti Sutjipto Soentoro, Ronny Pati nasarani, Jacob Sihasale, Iswadi Idris, Judo Hadijanto, dan Anwar Ujang. Ia pernah mendapat kesempatan menurunkan keterampilannya kepada pemain muda, ketika bersama dua rekan seangkatannya, M Basri dan Iswadi Idris ditunjuk sebagai pelatih tim nasional. Trio “Basiska” ketika bertanggung jawab membawa tim nasional berlaga di penyisihan Piala Dunia 1990, namun dianggap kurang berhasil.
In Memoriam "Si Kancil"
Mantan
pemain sepakbola nasional era ’70-an, Abdul Kadir, meninggal dunia di
Jakarta dalam usia 55 tahun. Pesepakbola yang dijuluki “Si Kancil”
dengan prestasi besar ini menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika
baru sehari dirawat di RS M Husni Thamrin, Salemba, Jakarta, pukul 03.10
WIB.
Abdul Kadir yang kelahiran
Denpasar, 27 Desember 1948, meninggalkan seorang istri, Lisa Agustin
Sumarwan serta empat orang putra dan seorang cucu. Almarhum dikebumikan
di TPU Karet Bivak, Jakarta sore kemarin pukul 17.00 setelah
diberangkatkan dari rumah duka Jalan Cempaka Putih Timur 65, Jakarta.
Di
antara prestasi yang pernah diukirnya, Abdul Kadir turut mengantarkan
klub Krama Yudha Tiga Berlian juara ketiga Piala Champion Asia 1986.
Abdul Kadir mulai mencuat namanya mulai era 1964. Berkat kelincahan yang tinggi meski bertubuh mungil, dia kemudian menjadi langganan tim nasional hingga 1979. Menurut rekan seangkatannya M Basri, Abdul Kadir telah membuktikan kepada dunia olahraga bahwa postur tubuh bukan merupakan ukuran yang pasti tentang kemampuan seorang atlet berprestasi.
Abdul Kadir menekuni sebagai pemain hingga sekitar 1984 yang kemudian menekuni karir pelatih hingga 1990.
Debutnya di Timnas PSSI adalah ketika berusia 16 tahun sudah ditarik masuk Timnas tampil di Ganefo (sekarang Asian Games) di Pyong Yang pada 1964.
Kejayaan dengan kenangan termanis dan tak dapat dilupakannya sebagai pemain adalah ketika bersama tim nasional menjuarai Piala Aga Khan pada tahun 1969 di Pakistan. Ketika itu, tim Indonesia disandera di dalam stadion oleh pendukung tuan rumah yang kecewa karena timnya kalah dengan skor telak 4-1. Abdul Kadir dan kawan-kawan baru bisa keluar stadion pada pukul 23.00 waktu setempat.
Kemudian, prestasi dengan menduduki posisi juara III juga diukir Abdul Kadir ketika melatih klub Krama Yudha Tiga Berlian di Piala Champions Asia 1986. Prestasi itu belum pernah terlampaui oleh pelatih lainnya di Indonesia.
Selama kurun hampir 15 tahun, posisinya sebagai kiri luar (gelandang) belum tergantikan oleh pemain lain. Tahun-tahun terakhir menjelang akhir hayatnya, Abdul Kadir juga pernah aktif sebagai komentator sepakbola di televisi.
Kondisi Keluarga dan Rumah Abdul Kadir yang Memprihatinkan
(cnd/rumahjuarasky4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar